"Mas, aku mau minta maaf.." Ucapku gugup.
"Oke, jadi gini, Ma, Pa, Bu, Pak, dan adik-adik sekalian," Adrian malah beralih dariku dan bercanda seolah-olah dia ingin membuat pengumuman. Semua langsung tertuju pada Adrian. Aku? Jangan tanya. Aku masih melongo karena baru saja berbicara dengan bongkahan es batu.
"Adrian..., batal pindah ke Jakarta."
Hening. Semua tertegun menatap Adrian. Termasuk dan terutama... aku.
Ingin menangis, ingin teriak, ingin maki-maki diri sendiri, wah.. banyak inginku untuk mengamuk di resto yang indah nan mahal ini. Tapi, takut gak sanggup bayar ganti ruginya. Yaudah, gak jadi ngamuk. Jadinya, lari ke toilet dan me-na-ngis.
Menangis di depan kaca memang bisa membuat kita makin gak karuan ya. Ketika aku menegakkan kepala dan melihat wajahku di kaca, aku semakin-makin ingin menangis. Maskara-ku rusak, mataku hitam lebam seperti Miss Kun. Itu karena maskara dan eye shadow yang bleberan. Adik perempuanku tersenyum di belakangku.
"Gila! Serem sih lo, muncul di belakang gue senyum-senyum horror gitu!" Kataku terkejut.
"Ya, elo lagian! Main kabur aja. Pengumuman Mas Ian belum selesai tau!" Katanya sambil menepuk pundakku dan langsung berpindah posisi tangannya menggandeng serta menarikku keluar.
Wah, gila! Gue belum rapihin muka gue!!!!!
"Kamu.. abis jadi kunti-kuntian?" Tanya Papa sesampainya aku di table. "Apaan sih, Pa? Enggak, tuh Dira tiba-tiba nyusul ke toilet trus narik aku yang belum siap gini." Jawabku sambil mengerucutkan bibir. "Buruan, sih, pengumumannya lama banget!" Aku mulai be-te.
"Oke, karena udah ada yang mulai lapar. Adrian lanjut ya. Adrian batal pindah ke Jakarta minggu ini. Jadi, Adrian baru bisa menetap sekitar dua minggu lagi, karena harus urus dokumen yang belum selesai di Jogja dan masih harus cicil pindahin barang."
Sial! Kenapa aku bisa selemah ini sih? Baru denger satu kalimat aja udah cengeng gini!
Tapi tetap saja. Aku-benci-jarak. Sudah cukup sabar dari masa kuliah sampai dua tahun kerja harus aku korbankan merana karena long distance relationship. Sudah enam tahun LDR, selama ini bisa bertemu enam bulan sekalipun sudah harus bersyukur. Terus urusan pindahan kesini juga dipersulit, gitu?
"Dan pengumuman surprisenya tetap ada kok. Terutama buat tuan putri yang suka pulang malam ini." Aku langsung menoleh ke arah Adrian. Kedua orangtua kami langsung tertunduk menahan tawa.
Ih, lagian pulang malem juga gak sering, sih. Hhh, kenapa harus berlebihan sih.
"Undangan sudah dipersiapkan. Urusan gedung dan katering sudah selesai. Dan tiga bulan lagi adalah pelaksanaannya."
Kalo ada backsound, mungkin akan tiba-tiba terdengar lagu The Way You Look At Me di bagian reff.
Semua anggota keluarga tersenyum lega... seperti seolah sudah tahu akan hal ini dan seperti aku adalah terdakwa yang tidak tahu mengenai apapun soal ini.
Tapi, tenang. Betenya sudah lenyap. Aku langsung menangis dan memeluk Adrian bahagia. Bahagia sekali. Perjuangan tahan-tahan selama enam tahun berakhirlah sudah.
Jarak mengajarkanku segalanya.
Jarak mengajarkanku arti rindu.
Jarak mengajarkanku arti setia.
Jarak mengajarkanku arti waktu.
Jarak mengajarkanku menghargai waktu.
Ingin marah, tapi aku sudah terlewat pasrah.
Pasrah menerima kenyataan dan memaklumi keadaan.
Bukan tembok tinggi yang berdiri di depan kami.
Tapi jarak yang mengular begitu panjang dan sangat menantang.
Menantang untuk lebih setia lagi.
Menantang untuk bisa saling menghargai.
Menantang untuk bisa terus menyayangi.
Dan... menantang untuk terus bisa menunggu hingga ia kembali.
Terima kasih kupersembahkan kepada Tuhan yang mampu mengubah arah hidupku. Dan terima kasih kepada jarak yang mampu membawa kemana arah jalanku.
Love, Shera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar