Jumat, 01 Juni 2018

Aku, Kamu, dan Jarak - Part 3

Selesai makan malam, aku dan Adrian mengantar Pak Cipto pulang ke rumahnya karena Adrian ingin memberi libur kepada Pak Cipto dan meyakinkan Pak Cipto, bahwa Pak Cipto tidak akan diberi SP dengan alasan lalai akan tugas. Kemauan Adrian sendiri untuk mengendarai mobil kantor untuk pekerjaannya selama di Jakarta.

"Kasihan, kan, kalo Sabtu & Minggunya Pak Cipto harus kerja. Kapan dia ada waktu buat keluarganya?" Oceh Adrian sambil mengenakan kaos polos kesayangannya.

"Ya, kamu juga. Pulang kesini tepat weekend, tapi kerja." Aku juga bisa mengoceh.

Adrian Galih Devano. Tunanganku, dua puluh lima tahun, kelahiran Yogyakarta. Kediaman keluarga Adrian tak jauh dari kediaman keluargaku. Tetapi Adrian selalu saja pulang ke rumahku. Ralat. Rumah kami. Ya, sebenarnya memang ini bukan sepenuhnya rumahku. Setelah Adrian memberikan fasilitas pendidikan penuh untuk kedua adiknya, ia mengambil alih cicilan rumahku, bahkan mengganti uang cicilan yang sudah kubayarkan tanpa mengubah satu huruf pun nama kepemilikan rumah ini. Tetap menjadi milikku.

Adrian lelaki yang sangat baik. Terlalu baik, malah. Tapi aku gak pernah mutusin dia karena dia terlalu baik buat aku, ya. Hanya saja, kadang aku menguji kesabarannya dengan pulang tengah malam, nonton sama Davi, atau apapun itu yang membuatnya geram.

"Inget, Dek, rumah ini belum lunas. Masih mau bawel karena aku kerja terus? Kamu lupa, uang gedung baru DP?" Tepat! Kata-kata yang akan selalu kuhafal dari mulutnya ketika aku protes akan pekerjaannya yang tidak ingat waktu.

"Mulai. Udahlah, kamar tamu udah aku rapihin ya. Aku mau tidur duluan." Ya, kalian jangan pikir macem-macem ya. Di rumah sederhana kami ada tiga kamar. Sementara sih, kamar utama menjadi kamarku, kamar yang akan ditempati Adrian adalah mutlak kamar tamu, dan kamar satu lagi adalah ruang kerjaku. Hmm, hanya sementara sampai nanti Adrian yang sudah pasti menjajah dan mengubah ruang kerjaku menjadi ruang kerjanya.

**

Aku memerhatikan bangunan yang baru setengah jadi di hadapanku. Tinggi. Benciku adalah ketinggian. Hih. Aku lemas membayangkan kalau lagi-lagi Adrian akan mengajakku naik ke lantai 9. Bangunan ini kusebut "calon hotel" di daerah Sudirman yang sudah sempit ini.

"Kalo jadi, ini bisa sampai 28 lantai, Dek."

"WHAT? Dua puluh delapan lantai? Udah gila kamu, Mas?" Oke, ini berlebihan, tapi sungguh.. aku benci ketinggian.

"Ya, nggak gitu juga responnya." Sahutnya sambil menarik tanganku. Apaan, nih? Jangan-jangan gue mau diajak naik lagi!? Ocehku dalam hati.

"Yuk, makan. Udah jam dua siang, kerjaan aku juga udah selesai." Hah, lega.

**

Grand Inonesia - 15.47 Waktu Jakarta bagian Mata Ijo Liat Toko Baju dan Tas serta Sepatu.

"Kamu lagi butuh apa? Baju? Tas? atau sepatu?" Begitulah Adrian. Dia tidak pernah bertanya apa inginku, tapi apa yang aku butuh.

Kamu itu kalo ditanya pengennya apa, banyak. Kamu selalu haus akan keinginan kamu sampe kamu lupa apa kebutuhan kamu. Makanya yang selalu aku tanya, kamu lagi butuh apa? Kalo nurutin keinginan, kamu pasti mau semua. Tas, sepatu, baju. Aku mau ngajarin kamu caranya mengerti apa itu prioritas.

Begitu ceunah.

"Aku butuhnya sih kamu pindah kesini lagi." Jawabku ketus..., tapi meringis ingin menangis. Haha.

"Kok gitu? Aku kan udah bilang, tahun depan, sayang." Tapi aku maunya bulan depan, sayang. Bukan tahun depan!

"Kelamaan. Keburu dicomot orang.." akunya. Dan belum selesai kalimatku, aku hafal dia akan merespon apa.

Kamu itu, kalo ngomong.. suka sembarangan.

"Kamu itu, kalo ngomong suka sembarangan." See? Dasar kaku!

"Udah, aku mau pulang. Lagi gak mood berdebat. Apalagi sama kamu."

"Sayang, aku udah beli tiket nonton buat midnight masa mau pulang?" katanya sambil menunjukan dua tiket bioskop dan..... cokelat yang daritadi ia sembunyikan di tas slempang kecilnya.

Ya, aku bodoh. Aku luluh karena cokelat.

**

15.54 Waktu Tomang Raya bagian Galau

Aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku saat mengangkat telpon dari Davi. Malam ini, Davi memintaku menemaninya ke acara pernikahan teman satu kantornya.

Calling Alanna...

"Davi? Kok makin lengket aja sama Davi, Sher?" Tanya sahabat perempuan tercintaku yang kedengarannya sedang bergelut dengan keyboard komputernya.

"Iya, Al, gue mau kondangan ke nikahan temen kantornya. Tolong ya, Sayangggg.." Aku merayunya untuk kesekian kalinya. Saat ada acara seperti ini, aku akan meminta Alanna memberi sentuhan-sentuhan make up tangan cantiknya.

"Hmm, gimana ya? Gue perlu hal-hal seperti penutup mulut, nih.."

"Yummy Gelato hari Minggu jam tiga sore. Thank youuuu, Babyyyyy!!" kututup telponku, lalu menekan nomor untuk menelepon sasaran selanjutnya..

"Yummy Gelato, selamat sore."

"Reservasi atas nama Alanna hari Minggu jam tiga sore."

**


Tidak ada komentar:

Posting Komentar